Sautan Dalam Aksara

–          Mari kita berbincang tentang harapan yang tak tersampaikan tentang sunyi ditengah hingar bingar…

–          Harapan yang masih bisa terang seperti rembulan kah? Atau harapan yg meredup seperti lilin melebur? Rembulan bersinar seperti harapan. Bintang berkilau seperti pantulan harapan. Akan kah pantulan tersebut menjadi cahaya? Cahaya yg terang berirama dengan lantunan senyum diwajah. Wahai rembulan.. dinginmu menusuk ke tulang seakan kehangatan tak pernah datang.

–          Harapan adalah salah satunya senjata kasat mata, dapat membunuh atau diunuh, membunuh dikala terang saat awal, dibunuh ketika redup sebelum terang. Tenanglah, ada energy yg tak terkorosi diantara harapan-harapan. Seperti lilin yg didatangi api, menjadikan mereka cahaya yg diam-diam setia menerangi.

–          Harapan adalah doa. Senjata yg paling ampuh saat jarak memisahkan satu sama lain. Seperti emubn yang diam-diam memeluk dikala pagi.

–          Jangan terlalu cepat menghakimi bintang dan bulan yg hidup diantara gravitasi, ada hokum kekal diantara mereka, dimana cahaya salah satunya alas an mereka ada. Siluet senyum merupakan keharusan bagi keduanya walaupun kerap keduanya dipisahkan oleh gravitasi, bahagia kah mereka? Entah, terkadang tidak semua kita dapat pahami dengan hanya sekilas menyelami. Namun, yg kita pahami mereka tetap setia mendampingi.

–          Apakah cahaya malam akan redup bersama sebuah harapan? Harapan terang yg sempat muncul diawal.. Atau akan meredup diakhir sebelum berkilau…

–          Dalam galaksi tidak ada yg abadi, seperti bintang yg menjadi gugusan kemudian merasuk ke dalam abu. Harapan? Kau mempertanyakan tentang harapan kepada cahaya dalam malam? Tidak kah kau tau, malam menjadi tegar dalam kelam karna cahaya? Ketika malam melewati gigil pilu dalam segala gulita, seiapa yg dalam diam menyelimutinya dalam kehangatan? Cahaya. Keduanya saling melengkapi, menemani di dalam harapan-harapan yg berhembus seperti kerlip kunang-kunang disela ketiadaan, keduanya saling terus menemani, melengkapi, apakah mereka saling memiliki? Entahlah.. lagi-lagi aku tak berani menghakimi.

–          Cahaya bulan mulai turun perlahan, bintang yg berkilau seakan pergi meninggalkannya, mengantarkan harapan pada kehangatan sang surya.. Akan kah kehangatan sang surya mampu melelehkan pilu dalam gulita? Diriku terdiam, seakan embun pagi memelukku dengan erat, begitu dekat, hingga ku membeku pada satu harapan. Ya.. lagi-lagi harapan yang belum mampu mencair menjadi satu.

–          Bimbangkah kau? Harus dimana kau menyambut harapan-harapan yg membeku seiring jalannya waktu? Ketidakpercayaanmu pada mentari dan ekspetasimu pada bintang yg telah pergi. Semua pendugaanmu yg kau terperosok anomali, percayalah, titipkan gugusan harapanmu pada satu cahaya, sampai kau menyadari satu hal yg pasti. Takut kah kau?

–          Kebimbanganku terletak pada keraguanku akan kemana angin berhembus. Berhembus kencang dan tak beraturan, layaknya tak memiliki tujuan. Ketakutanku terletak pada kekhawatiranku akan dibawa kemana harapan ku oleh sang angin? Akan kah kau tau, kemana angin berhembus?

–          Jangan tanyakan padaku, tanyakanlah pada angin yg sedari tadi membuatmu takut dan bimbang, kepastian adalah garis pemisah antara asa (harapan) dan realita. Kamu pilih mana? Bersembunyi dibalik ketakutan pada angin atau kamu pastikan sendiri garis akhirnya seperti apa? Beranalogi dengan kau memilih hidup hanya berpegangan asa atau tertatih dalam realita?

–          Angin menjawab seolah tak tampak. Seakan asa dan realita disembunyikan dalam kebimbangan. Lantas garis akhir seperti apa yg ku temui? Entahlah.. sampai saat ini pun aku masih berdiri diantara kebinalan hembusan angin yg seakan tak pernah lelah menerpa ku, sampai sang fajar seakan terlewatkan olehnya. Dan aku masih berdiri, menopang asa bersama baying-bayang ilusi.

–          Sampai kapan kau terus menanti? Atas kejelasan dari keabu-abuan asa angin yg menghinggapi? Jangan terlalu lama berdiri diantara nadir sendiri, aku takut kamu benar anomali..

–          Entahlah… Mungkin sampai saat sang pemimpi mampu terbangun dari tidur panjangnya. Atau sampai saat sang batu dapat hancur oleh sapaan sang air, bahkan mungkin sampai saat sang air dapat meyatu dengan sang minyak pekat :’)

–          Adalah Sirius.. Dialah bintang terterang digalaksi, tangannya hangat senyumnya pekat, mereka bilang dia penyembuh dikala hati gaduh, dia terlindungi gravitasi bahwa yang menghampiri hanya mereka yang merasa sunyi, semoda dia dapat menemanimu dikala hatimu hari biru, dan kau dapat pergi dikala sakitmu digrogoti waktu, Sirius itu aku, tenanglah kamu 🙂

Sautan dalam Aksara…

– Muhammad Julindra & Onny Irmayani

Leave a comment